BUNGCIKAL NITI KASUNYATAN
(Sejarah Trusmi: Pribawa Jati – dalam persfektif naskah-naskah Gamel)
Diserat PRD Anom Panuratrahsa
PENDAHULUAN
Situs Masjid Kuno (Kaputran) Trusmi merupakan salah satu bukti penyebaran agama Islam di tanah jawa barat. Penyebaran Islam di jawa barat tidak lepas dari toko sentral yaitu Pangeran Walangsungsan yang merupakan putra mahkota kerajaan Pejajaran. Islam mulai berkembang saat Pangeran Walang Sungsang atau mendirikan pangguron dan mendirikan pemerintahan sendiri dengan dibangunnya Witana (Bangsal Agung) Cirebon untuk pertemuan serta beliau megubah nama menjadi Pangeran Cakra Buwana. Perkembangan Islam mengalami puncak kejayaan saat tampuh pimpinan Kesulthanan Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatulloh dengan gelar Sulthan Susuhunan Jati Purba yang merupakan keponakan sekaligus menantu dari Pangeran Cakrabuwana pada tahun 1479 M.
Gbr: Pemut (Catatan Harian) Pepatih Kesultanan Kasepuhan
Setelah Syaikh Syarif Hidayatullah turun tahta, terjadi beberapa gonjang-ganjing menentukan siapa pewaris tahta kesulthanan Cirebon yang pantas menduduki. Dalam Sloka Bungcikal Niti Kasunyatan sangat jelas menggambarkan kondisi itu. Sloka Bungcikal Niti Kasunyatan juga menceritakan tentang pernikahan Syaikh Syarif dengan Nyimas Bambangan dan kelahiran serta pencarian orang tua Pangeran Trusmi.
SLOKA BUNGCIKAL NITI KASUNYATAN
A. Syakh Syarif mempersunting Nyai Bambangan
Dikisahkan saat Syaikh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunungjati mengunjungi ke panguron gurunya Syaikh Nurjati di Alas Sarabahu. Sesampainya di Alas Sarabahu, Sunan Gunungjati tidak menemui Syaikh Nurjati karena sedang berdakwa dan telah meninggalkan Panguronnya selama 21 hari, dan hanya bertemu dengan kakak sepupuhnya yaitu Pangeran Cerbon. Karena mengira gurunya mungkin akan segera pulang maka Sunan jati memutuskan untuk menunggu di rumah Kiageng Bambangan sembari pulang pergi ke Panguron Nurjati. Pondok Kiageng Bambangan berada di dalam hutan bambu. Setelah 5 hari, Kiageng Bambangan menyerahkan putrinya untuk dipersunting Sunan Gunungjati.
Tiga bulan lamanya sunan jati menunggu kepulangan gurunya yang tidak kunjung datang, maka sunan gunungjati memutuskan untuk pergi untuk berdakwa. Saat pergi Nyimas Bambangan sedang mengandung, karena sadar suaminya adalah seorang ulama penyebar agama maka dengan berat hati Nyimas Bambangan merelakan kepergian Sunan Jati untuk berdakwa.
B. Pangeran Trusmi mencari orang tua (Ayah)
Nyai Bambangan akhirnya melahirkan seorang putra tampan diperkirakan lahir tahun 1489 yang diberi nama Pangeran Mangkuratsari (Mangkuratjati) atau Pangeran Trusmi (Trus Asmi = Pangeran yang lahir diantara pepohonan bambu sejauh mata memandang atau Taru Rasmi = Pangeran yang mirip sekali dengan ayahnya). Pangeran Trusmi saat umur 7 bulan dikunjungi ayahnya yang tiada lain Sunan Gunungjati atau Syaikh Syarif Hidayatullah. Sunan Jatipurba sangat senang dengan kelahiran Pangeran Trusmi, namun karena kesibukannya sebagai seorang sulthan dan ulama maka sejak umur pangeran trusmi menginjak 4 tahun Sunan Jati hampir tidak berkunjung lagi. Pangeran Trusmi pun telah memiliki adik perempuan yang bernama Nyimas Martasari.
Pangeran Trusmi tumbuh menjadi seorang remaja yang penuh wibawah dan ahli dalam agama seperti ayahandanya. Namun dibalik ketenarannya di dalam hatinya terselip rasa sepi dan penasaran tentang jati diri ayahandanya, karena dia sudah lupa bagaimana wajah ayahandanya, dia hanya diberi tahu jika ayahnya adalah seorang yang termashur ulama besar yang senang mengembara. Setiap Pangeran Trusmi bertanya kepada Ibunya, Nyimas Bambangan hanya bisa menangis dan sangat khawatir hingga akhirnya dia memberanikan diri bertanya kepada kakeknya yaitu Kiageng Bambangan.
Kiageng Bambangan merasa ibah melihat keteguhan dan kerinduan cucunya terhadap ayahandanya, Kiageng juga tahu tentang kekhawatiran anaknya (Nyimas Bambangan) jika Pangeran Trusmi mengetahui siapa ayahnya bisa menjadi bumerang dalam hidupnya. Akan tetapi rasa ibah pada cucunya akhirnya Kiageng memberikan petunjuk kepada Pangeran Trusmi; “Jebeng, ayun uning ramahira temekaha hing dereksepuhira ing siten kasucen ngalas sarabahu (Nak, jika kamu ingin tahu ayahmu datanglah dan temuilah saudarah tuamu di tanah yang suci hutan/Pesantren sarabahu)”. Begitu senangnya saat mendapat petunjuk dari kakeknya, Pangeran Trusmi langsung pergi ke Hutan Sarabahu (sekarang desa Gamel/Sarabahu).
Sesampainya di Panguron Alas Sarabahu Pangeran Trusmi ketemu dengan Pangeran Rengas Delik, yang merupakan teman sepermainannya dan meminta diantar ke Pangeran Jaka Lelana. Setelah dihadapan Pangeran Lelana, Pangeran Trusmi menyampaikan keinginannya yaitu siapa ayahandanya dan ingin bertemu dengannya. Karena merasa kasihan dan tahu maksud Kiageng Bambangan menyuruh cucunya bertanya kepadanya maka Pangeran Jaka Lelana bersedia membantu namun dengan sarat “Cung Trusmi, mamah purun wehing petedah sapa ramahira, nira kedah purun mendem sajroning bumi, nglampah ing pepetenge, kedah kiyat ageman sobro, kedok lan wini sebawang puniki, pinarana nira ngaler rika panggih tyang jaler sawuse bahing lawang, iku ramahira”. (Kalimat Kiasan: Mendem Sajroning Bumi artinya melepaskan keinginan keduniawi (simbol orang mati), setelah tahu siapa Ayah jangan mengharapkan apa-apa. Nglapah ing pepetenge artinya pura-pura tidak melihat apa-apa setelah tahu ayah. Agema Sobro kedok lan wini sebawang artinya kamu tetap menutup dan merahasiakan diri (sobro = penutup seluruh kepala, Kedok = penutup muka, wini sebawang = padi serumpun tangkai) dan jangan meminta warisan dunia).
Pangeran Trusmi menuju ke selatan menuju Panjumenengan Jati, tempat berkholwat. Pangeran Trusmi memberikan surat yang diberi oleh Ki Sarabahu kepada penjaga pintu gede. Penjaga merasa kaget, awalnya mengira jika yang datang itu orang yang sedang di dalam karena sangat mirip tapi lebih muda, namun penjaga tidak berani membuka hanya menyuruh Pangeran Trusmi menunggu di depan pintu. Setelah 3 hari menunggu akhirnya pintu itu dibuka dan tampak seorang laki-laki gagah tinggih besar yang rupanya sangat mirip dengan dirinya keluar dari balik pintu. Pangeran Trusmi kaget karena yang dia lihat adalah Sulthan Cirebon, hingga dia sujud mematur namun Sulthan Cirebon langsung mendekap memeluknya “Cahbagus, putra ningsung iki ramah nira, ramah ayun pangaksami sedawani warsa tannyabah”. Akhirnya Pangeran Trusmi turun tangis bersama ayahandanya yang tiada lain Susuhunan Jati Purba Syaikh Syarif Hidayatullah.
C. Diusulkannya Pangeran Trusmi menjadi Putra Mahkota (Bungcikal) Kesulthanan Cirebon
Sebelum membahas lebih dalam kita pahami dahulu arti dari kata Bungcikal yang selama ini dianggap anak yang lahir dari rebung/tunas bambu karena Bung (Tunas Bambu, Rebung) dan Cikal (permulaan). Bungcikal merupakan sebuah kata yang utuh dan memiliki arti satu. Di bawah ini dijelaskan beberapa sumber yang menjelaskan arti kata Bungcikal:
- Menurut Sloka Bungcikal, Prabawa jati anggawa Trusmi dadya Bungcikal, bakaling Adi Cirebon Nagari. (Saat terjadi pergolakan kekuasaan membuat Pangeran Trusmi dinobatkan menjadi Putra Mahkota, calon Raja Kesultanan Cirebon)
- Menurut buku Bahasa Cirebon Penerbit Humaniora 2005, TD. Sudjana, dkk halaman 55. Bungcikal berarti putra yang dicalonkan/ putra mahkota.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan arti dari kata Bungcikal menurut bahasa Cirebon Kuna adalah Seorang yang dicalonkan menjadi raja atau seorang putra mahkota. Sehingga dapat diartikan Pangeran Trusmi yang disematkan nama Bungcikal sebagai tanda bahwa beliau adalah seorang putra mahkota yang akan dicalonkan sebagai Sulthan Cirebon menggantikan Syaikh Syarif Hidayatullah.
Putra Mahkota Kesulthanan Cirebon Pangeran Mohammad Arifin meninggal pada tahun ±1546, dalam huru-hara konflik di Demak antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir. Maka terjadi prabawa jati 1, dalam prabawa jati 1 terjadi silang pendapat tentang penerus tahta kesultanan Cirebon, sebagian besar pangagung dalem mengusulkan Pangeran Trusmi menjadi penerus tahta karena dianggap memiliki kesamaan kedalaman ilmu, kealiman serta wawasan tata negara dengan ayahandanya yaitu sunan gunungjati, Prabawa jati anggawa Trusmi dadya Bungcikal, bakaling Adi Cirebon Nagari. Namun usulan itu ditentang keras oleh keluarga kaputren dalem yang menginginkan putra pangeran pasareyan yang sudah menjabat Depati Cirebon untuk mengisi kekosongan kekuasaan Kesulthanan Cirebon sepeninggal Pangeran Moh. Arifin.
Kian meruncingnya silang pendapat antara Pengagung Dalem dipimpin Patih Sungging Dawan dan Keluarga Kaputren Dalem. Hal ini yang mengakibatkan kekacauan di Kesulthanan Cirebon, memaksa Sunan Gunungjati yang sedang berdakwa keliling pulang dan mengambil alih kepemimpinan Sunan Gunungjati. Kembalinya Sunan Gunungjati mampu meredam gejolak dalam Kesulthanan Cirebon. Susuhunan akhirnya mengeuarkan keputusan untuk mengangkat Pangeran Trusmi sesuai usulan para Pangagung Kesultanan yang menganggap Pangeran Trusmi mampu dan memiliki kemiripan dengan ayahandanya, serta Pangeran Mangkuratsari Trusmi merupakan Putra Manggala (Putra Lelaki tertua) Syaikh Syarif Hidayatullah. Keluarga Kaputren Dalem tetap menolak dan menentang, namun titah Susuhunan Jatipurba dan dengan kondisi keluarga Kaputren Dalem akhirnya dengan berat hati menerima usulan tersebut. Pangeran Trusmi di boyong ke keraton dan diusulkan menjadi Bungcikal/putra mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sulthan. Pangeran Trusmi pun dilantik dan resmi menjadi Sulthan Kesulthanan Cirebon yang ke 3 dengan Gelar Susuhunan Manggalajati. Selama 5 tahun Susuhunan Manggalajati menjalankan roda pemerintahan didampingi Susuhunan Jatipurba. Susuhanan Jatipurba, kembali berdakwa keliling meninggalkan kesulthanan. Selama memegang kekuasaan Manggalajati/Pangeran Trusmi merasa dirinya tidak pantas, tidak betah, lebih menyukai ketenangan sebagai seorang pendakwa di tempat tinggalnya di trusmi. Ada 2 (dua) versi kepergian Pangeran Trusmi dari keraton:
1. Setelah 5 tahun Beliau memimpin kesulthanan Cirebon dengan Gelar Susuhunan Manggalajati. Pangeran Trusmi merasa tidak betah dan tidak sesuai panggilan hatinya, Beliau ingin tetap menjadi orang biasa dan menyebarkan agama di tempat. Pangeran Trusmi, menghadap ayahandanya Sunan Gunungjati untuk mengutarakan niat dan keinginannya untuk melepaskan jabatan sebagai Sulthan dan untuk tetap tinggal di Trusmi. Keinginan Pangeran Trusmi diterima dan kembali ke trusmi (Bambangan) melanjutkan syiarnya. Setelah kepergian, Pangeran Trusmi kembali ke Bambangan Sunan Gunungjati memandatkan Kesulthanan kepada Fatahillah untuk dipimpin sedangkan sunan Gunungjati juga kembali mengembara untuk berdakwa.
2. Setelah Sunan Gunungjati kembali berdakwa mengembara, Pangeran Trusmi menghadap Fatahillah dan meminta Fatahillah untuk mau menggantikan dia untuk memegang tampuk kepemimpinan Kesulthanan Cirebon karena Pangeran Trusmi ingin fakus alam dakwah dan syiar agama di tempat asal beliau.
Tahun ±1564 Pangeran Trusmi memilih untuk Niti Kasunyutanan di kaputran alit. Tahun ±1566 Pangeran Depati Cirebon Swarga cucu Sunan Gunungjati atau Putra dari Pangeran Mohammad Arifin Pasareyan wafat. Mendengar kabar Cucunya meninggal Sunan Gunungjati kembali ke Kesulthanan Cirebon, memimpin solat jenazah cucunya. Kembalinya Sunan Gunungjati maka secara pribadi Fatahillah pun mengembalikan tampuh pimpinan Kesulthanan. Selama 2 tahun Syaikh Syarif Hidayatulloh memerintah kembali dan tepatnya pada tahun ± 1568 beliau berpulang ke rahmatullah di usia yang ke 120 Tahun.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvgCs2DoyLHZ3dTSaAyWK8zC0mSHZEcEk92GcGs28HauXQFkEPYAjCdplHeir86hZXpWwJ0ii3R9ST_pKzDXdT2PTf9kKu-24vN5iBD0ro-EmIF8nVaZ7giptQ5r4-wU2KIdaTCT2X5j7C/s320/images+%252817%2529.jpeg)
Kepergian Syaikh Syarif Hidayatullah menghadap kehadirat ilahi rabbi, menimbulkan gejolak kembali masalah pewaris tahta Kesulthanan Cirebon atau yang dikenal dengan Prabawa Jati II. Menimbang putra Pangeran Depati Cirebon yaitu Pangeran Mas Arya Cirebon dianggap belum mampu memegang tampuh pimpinan, maka Fatahillah kembali memegang tampuh pimpinan selagi menunggu Pangeran Mas siap mengemban tugas sebagai sultan. Akhirnya tampuh kepemimpinan Kesulthanan Cirebon diserahkan kepada Pangeran Mas Depati Cirebon yang menginjak usia 23 tahun.
D. Ratu Martasari dipersunting Syaikh Abdurohman
Disisi lain, Ratu Martasari dipersunting oleh Syaikh Abdurrohman dan bermukim di Kaputren Alit yang sekarang berada di desa Kaliwulu. Putranya mewarisi keahlian ayahandanya sebagai ahli ukir dan membantu Pangeran Losari membuat Kereta Paksi Naga Liman yang dikenal dengan sebutan Kinata Guna. Akan dikisahkan lebih lanjut dalam Serat Tapaking Ki Ageng Si Lintang.