This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 04 Agustus 2022

KELIRUMOLOGY PEMAHAMAN BAHASA CIREBON KUNO


Bahasa Cirebon merupakan bahasa yang sangat unik karena memiliki beragam gaya pelafalan, notasi sampai perbedaan pengucapan. Keunikan ini dipengaruhi oleh banyaknya percampuran dan adaptasi dari berbagai bahasa seperti Sunda sebagai bahasa ibu pertama, Jawa kuno sebagai bahasa ibu ke dua, Arab sebagai bahasa panguron, Melayu, Cina dan Belanda. Akan tetapi dengan bergesernya waktu banyak orang Cirebon sulit atau tidak memahami arti kata nya sendiri ditambah kesenian Cirebon pada akhir masa kolonial VoC mendapat sokongon dan perhatian yang sangat besar dari kesultanan dengan ditandai pemberian Gelar Raden bagi para dalang (Penggiat Kesenian).

a.      Wakil Sultan Raja Aluda tahun 1901 – 1911 memberikan gelar pada Dalang Pesisiran, hal ini memicu makin meruncingnya sengketa antara Aluda dengan keturunan Jayawikarta karena menganggap Aluda menyalahi perjanjian sanggul gelung.

b.      Wakil Sultan Maulana tahun 1973 memberikan gelar raden pada Dalang tengahan serta pendukungnya. Polemik ini memicu terpecahnya Tradisi Panjang Jimat Kesulthanan Cirebon (Setiap Keraton mengadakan sendiri-sendiri yaitu mulai tahun 1975) dan Mencuatnya issue jika Raja Rajadiningrat adalah keturunan belanda bukan garis nasab Sunan Gunungjati (ini akan dibahas dalam Bab Sengketa Singgasana Tra Aluda)

Dalang atau seniman kesenian ini menjadi sumber referensi masyarakat dalam mengangkat sejarah (Sanggit). Namun dengan keterbatasan pemahaman bahasa sering kali para Seniman/Dalang ini mengartikan kata dalam bahasa Cirebon dengan asal saja dan parahnya masayarakat menelannya mentah-mentah sehingga mengaburkan makna sesungguhnya kata tersebut yang berdampak pada penyimpangan sejarah Cirebon. Penulis pernah mencari sejarah galur dan bertemu dengan almarhum Mamah Prof Titin Cangkring budayawan Cirebon dan beliau berkata “Mamah si dalang, yen critae galur ya bakal bli payu sandiwarae, sebabe wong nonton pengene kang rame ana prang tandinge”. Maka, melalui makalah sederhana ini penulis ingin memaparkan keliruan bahasa yang berkembang di masyarakat dengan tujuan sebagai bahan diskusi jika ada para pemerhati/penggiat bahasa yang memiliki pemahaman yang berbeda bisa menuliskan di komentar atau ke email guratpanurat@gmail.com demi untuk mengedukasi serta membuka wawasan masyarakat khususnya Masyarakat Cirebon.

TRUSMI

Trusmi berasal dari dua kata yaitu Taru dan Rasmi memiliki dua makna pula:

1.      Taru Rasmi artinya anak kandung yang syah, ini juga menjadi penanda mengapa diangkat menjadi putra mahkota saat adiknya, Pangeran Pasareyan meninggal.

2.      Taru Rasmi adalah Taru (kayu atau padu/sama) dan Rasmi (Lukisannya) sehingga bermakna anak yang sangat mirip dengan ayahnya (Sunan Gunungjati). Makna ini sejalan dengan galur Pangeran Trusmi Mendem ing Puser Bumi Sarabahu, yaitu abdi dalem Sunan Gunungjati sangat terkejut melihat Pangeran Trusmi disangka Sunan Gunungjati saat datang ingin bertemu dengan orang yang sedang berada di dalam Lemah Wungkuk.

3. Trusmi juga bisa berarti Trus Asmi yang berarti Pepohoman sejauh mata memandang (hutan lebat) yang secara harfia berarti Pangeran Trusmi adalah Pangeran yang berada di dalam hutan (bambu) lebat.

 

BUNGCIKAL

Masyarakat mengartikan kata “Bungcikal” ini sesuai sanggit pementasan sandiwara yaitu anak yang berasal dari tunas pohon bambu (Rebung). Diceritakan pada suatu hari saat Sunan Gunungjati ingin berkunjung ke gurunya Syaikh Nurjati di Wana Sarabahu, beliau buang air kecil di bawah pohon bambu dan mengenai tunasnya, Nyimas Bambangan (ada yang mengatakan Nyi Cipluk) mengambil tunas bambu tersebut dan memasak serta memakannya sehingga membuat Nyimas Bambangan hamil.

Menurut bahasa BUNGCIKAL berarti anak yang dinobatkan menjadi putra mahkota. Ini sejalan dengan galur Pangeran Trusmi sebagai putra dari Sunan Gunungjati saat Pangeran Pasareyan meninggal (bisa baca di Galur desa Trusmi di http://sakapanuratrahsa.blogspot.com/ )

 

MANGGALA JATI

Manggalajati adalah gelar yang disandang oleh Pangeran Trusmi yang bernama Pangeran Mangkuratsari / Mangkuratjati. Manggala berarti Putra Pertama, Jati merujuk Sunan Gunungjati sehingga Manggalajati bermakna Putra Pertama dari Sunan Gunungjati

 

WITANA

Masyarakat Cirebon yang dipengaruhi sanggit para dalang kesenian mengartikan Witana dari kata Awit Ana (Mulai ada). Witana sendiri sebenarnya berarti Bangsa atau Balairung tempat pertemuan seorang raja dengan bawahannya. Dengan pendirian Witana ini, Pangeran Cakrabuwana mengikrarkan membuat dan mengelolah pemerintahannya sendiri.

 

LEMAH WUNGKUK

Lemah Wungkuk adalah panguron yang dibangun Pangeran Cakrabuwana yang berbentuk mushalla/masjid. Arti Lemah Wungkuk sendiri berati Tempat Sujud.

 

PUSER BUMI

Masyarakat Cirebon percaya jika Cirebon tepatnya di Gunungjati adalah Titik Pusatnya Bumi/Alam. Padahal dalam Bahasa Cirebon kuno Puser Bumi memiliki arti Tempat Berkumpul untuk berdiskusi atau rapat.

 

PANJANG JIMAT

Panjang Jimat dipahami oleh masyarakat umum adalah prosesi arak-arakan jimat/pusaka keraton sehingga mengular/memanjang sepanjang jalan. Panjang dalam bahasa Cirebon kuno berati Piring/Tempat nasi untuk makan, sehingga Panjang Jimat berarti Pusaka yang berbentuk Piring.

 

MATANGAJI

Matang masyarakat mengartikan dari kata Bahasa Indonesia yang berarti masak atau sudah sempurna. Matang dalam bahasa Cirebon kuno berarti Dibuang/di asingkan, sehingga makna dari Matangaji adalah Raja/Sultan yang di asingkan.

 

NUJU BARIS

Dalam salah satu sanggit wayang cepak Cirebon menadopsi kata Nuju Baris ini sebagai Sultan dalam pengasingannya tersebut menyusun setrategi  dan pasukan serta berjuang melawan penjajahan VoC. Akan tetapi menurut Bahasa Cirebon kuno kata Nuju Baris berarti Mengalami Gangguan Jiwa (Gila).

 

GAMEL

Pada mulanya masyarakat Cirebon khususnya masyarakat Gamel sendiri mengartikan Gamel dari kata Gamelan (alat musik tradisional dari logam) didasari karena desa gamel memiliki pusaka yang berbentuk Gamelan yang disebut Tabu Renteng. Dahulu desa Gamel itu tidak ada yang ada adalah Sarabahu, sampai tahun 1980an akhir orang menyebut Tiyang saking Ngalas Sarabahu, berubah terkenal Gamel saat Putra terbaik Sarabahu (Pangeran Talibarata) diutus membantu melatih pasukan kuda mataram dan disebut/diberi gelar Ki Gamel yang berarti Guru dan Pawang Kuda

 

KALIWULU

Menurut tutur tinular yang berkembang secara umum di masyarakat jika Kaliwulu adalah sungai yang dibuat berwudu Syaikh Abdurohman murid Syaikh Qodir Jailani. Namun menurut galur yang berkembang Kaliwulu memiliki makna:

1.      Rumah Silintang kedatangan 2 orang meminta ijin untuk menumpang berwudu (Galur Tapakan Bima Silintang). Cerita ini menjelaskan jika Kaliwulu berarti Dua Orang Menumpang Wudu.

2.      Kaliwulu merupakan rumah ke-2, ini berdasarkan Galur Pangeran Trusmi jika Kaliwulu adalah Kaputren untuk adiknya.

 

WATU BELO

Saat jalan-jalan ke arah Sumber kita akan melewati desa Watu Belo yang jalan desanya berdiri gapura dengan Patung Batu Terbelah. Kita dapat mengambil kesimpulan Watu Belo tersebut disamakan dengan Watubelah atau yang berarti Batu Terbelah. Padahal dalam bahasa cirebon arti Belo adalah Bulat Besar, jadi Arti dari Watubelo adalah Batu Besar dan Bulat. Batu Bulat Besar ini terletak di Pasanggrahan kramat Buyut Selapandan.

 

CALANCANG

Menurut masyarakat yang berada di kecamatan Gunungjati, Calancang ini berasal dari kata Nyancang yaitu mengikat tali perahu. Namun menurut bahasa Cirebon kuno Calancang ini berasal dari dua kata yaitu Cala dan Ancang. Cala berarti asap yang ada di bawah kaki gunung sedangkan Ancang adalah tanda/petunjuk (Ancer-ancer), sehingga Calancang berarti adalah Mercusuar ditepi pantai/pelabuhan.

 

SINGAPURA

Singapura menurut keyakinan keturunannya adalah sebuah kerajaan sebelum Cirebon. Disini penulis tidak bermaksud membantah karena disini penulis hanya mengartikan dari kata menurut bahasa Cirebon kuno. Singa berarti Pesisir Pantai, Pura bangunan, sehingga Singapura adalah bangunan yang berada di pesisir pantai atau secara harfia adalah Rumah Dinas Syahbandar.

 

MARTASINGA

Martasinga terdiri dari kata Marta yang bermakna selalu ramai sepanjang waktu, Singa adalah pesisir pantai. Secara harfia Mertasinga berarti Pelabuhan yang sangat ramai.

 

GANDASARI

Sejak kecil mungkin masyarakat Cirebon sudah diberi pemahaman jika Nyimas Gandasari adalah seorang yang memiliki kelamin ganda, yang digambarkan menikah dengan Syaikh Magelung Sakti dengan perjanjian “Boleh Campur (kawin/hubungan badan) saat akhir jaman/kiamat”. Tanpa disadari pemaknaan ini sangat menghina beliau (Nyimas Gandasari). Gandasari ini berasal dari kata Ganda yang berarti Bau, Sari adalah Bunga sehingga Gandasari berarti Wanita yang terkenal akan kecantikannya/Wanita yang sangat cantik.

 

ANOM

Kita sering salah mengartikan Anom sama dengan Eunom/Muda, tapi sering sekali kita temukan gelar putra mahkota/manggala bergelar  Pangeran Anom yang berarti Putra Mahkota (Putra Tertua). Ternyata dalam bahasa Cirebon kuno kata Anom adalah serapan dari kata  sangkrit yaitu Kamanoman yang berarti Raja yang syah, sedang Anom berarti Raja/Sultan.

 

SEPUH

Sepuh dalam bahasa jawa artinya Tua, akan tetapi didalam bahasa Cirebon memiliki makna yang jauh berbeda yaitu Sepuh berarti Poles/Menutupi agar terlihat lebih mulia, Di Sepuh artinya Dipoles agar keliatan mengkilap/seperti emas. Sepuh juga bisa berarti palsu seperti Emas Sepuhan (Emas palsu, biasanya hanya kuningan atau tembaga yang dipoles warna emas)

Sabtu, 30 Maret 2019

TEATER GUGURNYA KI BAGUS RANGIN (KALPARIKSA LEBON PEPETENG)


KALPARIKSA LEBON PEPETENG
(GUGURNYA KI BAGUS RANGIN)

Kalparikasa Lebon Pepeteng kalimat yang diambil dari Sloka Kalpariksa dengan kalimat “Kalpariksa Jatining Cerbon Lebon Pepeteng” yang berarti Sejarah (Pohon Kehidupan) Cirebon mesuk ke jaman kegelapan. Diawali oleh dengan datangnya Bangsa Belanda (VoC) dengan menyebarkan Candu/Madat namun kuatnya pengaruh Agama/Ulamah  Hakim Kesulthanan upaya VoC gagal tidak seperti di Daerah Jawa. Maka Belanda/VoC melakukan propaganda yang dikenal dengan “Genosidasara”:
1.      Pemusnahan Arsip/Catatan Sejarah/Perpustakaan Kesulthanan  dan menulis ulang sejarah Tahun 1660  – 1690 (Kitab Pustaka)  dan 1705 – 1725 (Kitab Purwaka)
2.      Mengganti Aksara Asli Cirebon (Aksara Rikasara)
3.      Membelah kesulthanan Cirebon menjadi 2 Keraton (Pusat Kekuasaan). Keraton Kanoman (Karta Wijaya) dan Keraton Kesepuhan (Marta Wijaya) serta  tetap  kendali VOC lewat  Wangsa  Kerta (Nassiruddien).
4.      Menjalankan System Oversees
Dengan tipu muslihatnya sejarah Cirebon diubah dan jati diri Cirebon dihilangkan, para Sarjana dipaksa mengganti Babad dan Aksara, dengan dibentuknya Jaksa Pepitu. Propaganda disegala bidang, Dewan  Pertimbangan kesulthanan yang dipegang para ulama di singkirkan.  Penderitaan rakyat Cirebon kian menjadi saat tanah-tanah kesulthanan dikendalikan oleh VoC dan mempensiunkan/menghilangkan kekuasaan sulthan hanya sebagai pembantu VoC (System Oversees). Kelaparan dimana-mana hingga memicu pemberontkan para laskar santri yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin. Bagus dalam tataran bahasa Cirebon Berarti  Anak seoarang Ulama. Silsilah Bagus Rangin sendiri masih keturunan Pangeran Adipati Panengah yang dari Trah Kanoman. Tepatnya Cucuh dari Pangeran Adipati Panengah  yang menikah dengan anak ulamah Majalengka.
Ki Bagus Rangin memimpin pergerakan dengan nama “Klebet Waring”, dukungan dari para santri dan rakyat serta dukungan tersembunyi dari Keraton Kanoman membuat pergerakan belanda sangat terganggu. Pengejaran dan perburuan Ki Bagus Rangin sangat gencar. Segala cara dilakukan, hingga pada tahun 1812 dengan ancaman akan membumi hanguskan keraton Nagari Grage Voc memaksa  Ki Bagus Rangin menyerahkan diri. Berkat bantuan Pangeran Udaka Kasepuhan,  Ki Bagus Rangin dapat tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ki Bagus Rangin di adili di sebuah alun-alun (desa karangsembung majalengka) di hadapan Rakyat, dieksekusi dengan cara kepala Ki Bagus Rangin di Hantam Bongkahan Batu.


Adegan 0 :
a.      Seorang berwajah Kerbau Bule menyobek Simbol Kesulthanan Cirebon menjadi 2 lalu mengepalnya. Dia tertawa, di susul triakan entah dari mana asalnya erangan kesikitan.

Denting-denting suara besi teratuk batu membuka menyadarkan akan waktu silam
Waktu yang begitu kelam
(Suara menggema: Kalpariksa Lebon Pepeteng)
Masa Genosida Jati diri dan Aksara Cirebon

Denting  terus bertalu, walau seakan menjauh....


Adegan 1:
a.      Seorang masuk memakai Topeng tanpa wajah (Kertas Hitam polos) dan hanya bercela pendek
b.      Merangkak, menggelepar dan merintih kelaparan


Adegan 2:
a.      Masuk seorang berwajah Kebo Bule
b.      Menyalakan dupa lalu menebar-nebarkan kesetiap sudut asapnya (Madat/Candu), namun seberapa lama dia mencampakan dupa itu ke tanah dan menginjaknya dengan marah.
c.       Dia mondar-madir bingung mencari ide dan merasa bingung.
d.      Dia melihat kursi yang ada tumpukan bukunya, mendekati dan memandang buku itu.
e.      Mengambil satu buku bertuliskan Rikasara (Aksara Cirebon) memandang sejenak dan tersenyum picik lalu menyobeknya.
f.        Mengambil satu lagi buku bertulis Sejarah Kesulthanan memandang sejenak dan sambil tertawa bangga menyobek-nyobeknya
g.      Suara dentingan kian bertalu dan kian hilang.....

Adegan3:
a.      Masuk (duduk di kursi)  seorang yang tidak memiliki wajah, berdiri menunduk begitu malu. Lirih penuh kesedihan berkata “Mana wajahku”
b.      Denting tiba-tiba kian bertalu kencang
c.       Masuk seorang pemuda berselempang sarung dan ikat lusuh. Dengan terengal-engal memungut sobekan-sobekan buku, dihimpun dalam kain.  Hingga ia bersimpuh menahan marah, dia membentangkan sobekan kertas itu menjadi panji Klebet Waring sambari berteriak kencang “aaaahhhhhh” (meluapkan kemarahan dan berontak dari ketidak berdayaan).
d.      Pemuda itu bangkit dan mengikatkan Waring di sebatang bamboo kuning, dan mengikatkan ikat serta sarung. Lalu berdiri memegang panji dan pedang  Kita.. kita... kita yang harus mengeluarkan Pohon ini dari kegelapan


Adegan 4:
a.      Denting itu kian kencang bersautan dengan takbir dan suara besi beradu.
b.      Bagus Rangin masuk kian tertunduk hingga terduduk. Suara denting itu kian sayup-sayup dan hening.
c.       Muncul di belakang Bagus rangin Berwaja Kerbau, mengikat leher Bagus rangin menyeretnya hingga  terlentang.
d.      Wajah Kerbau mengambil batu dan menghantamkannya ke kepala Bagus Rangin. Terdengar sayup gema “La ilaha illalloh” (seperti azan yang sedih)
e.      Sosok Putih berjonkok di sampingnya (ruh kibagus rangin) lalu membacakan Puisi “Kematianku”

Inilah Kematianku
Pecah
Batok Kepalaku
Otakku Lantak Berhamburan
Muncrat ke tanah kering
.......
Pada Kalian...
Pungut Ceceran Opolo-ku
Tegakan Pohon Jati itu
Tulis Rikasara-mu
.........
Inilah Kematian-ku
Bukan akhir Perjuangan-mu
Kibarkan “Klebet Waring-mu




Dipentaskan
Oleh Sanggar Seni Witana 67 SMK Negeri 1 Gunungjati
Lomba Festival Literasi Sekolah MGMP Seni Budaya Se Kabupaten Cirebon 
di SMK Negeri 1 Kedawung

Minggu, 24 Februari 2019

TRADISI BUKA SIRAB


FILOSOFI
BUKA SIRAB DAN MEMAYU

Dalam tradisi menjaga atau memperbaiki bangunan peninggalan zaman dahulu di Desa-desa adat Cirebon, kita mengenal 2 tradisi yaitu Buka Sirab dan Memayu yang masih lestari dilaksanakan disetiap desa sebagai media menjaga kelestarikan bangunan/tradisi juga sebagai upaya menjaga sikap gotong royong dan kebersamaan.

A.      BUKA SIRAB

Buka Sirab merupakan tradisi yang dilakukan oleh desa-desa adat yang berada di daerah Cirebon yang masih memegang teguh tradisi. Buka Sirab juga merupakan kearifan lokal yang memiliki makna filosofi kehidupan yang sangat dalam. Namun dengan kemajuan jaman dan teknologi pemaknaan filosofi ini kian terlupakan. Maka disini penulis mencoba membabarkan tentang kandungan dari Tradisi Buka Sirab yang diambil dari penjabaran Seloka Sanggo Buwono.
Tradisi buka sirab masih dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat adat yang berada di desa-desa adat Cirebon. Tradisi Buka Sirab biasanya dilakukan dalam kurun waktu 8 tahun (sewindu) satu kali. Walau untuk zaman sekarang beberapa desa menerapkan 4 tahun sekali karena menimbang beberapa faktor. Faktor yang umum yaitu karena kualitas bahan yang tidak sebagus zaman dahulu, serta pertimbangan lainnya.
Sirab sendiri merupakan atap secara keseluruhan baik kayu penyangga maupun penutupnya, walau secara umum dipahami sirab adalah kayu penutupnya (genting). Sirab penutup memiliki dua jenis bahan yaitu 1Kayu jati yang disebut sirab dan 2Daun Tebu/Ilalang yang disebut welit. Bentuk Sirab biasanya berbentuk limasan 4 sisi, sedang kayu penyangganya berjumlah 9 dan diujungnya diberi hiasan yang disebut Memolo. Setiap bagian sirab memiliki makna dan filosofi yang menjadi tuntunan masyarakat adat yang dipegang secara teguh.
        Kata Sirab merupakan kata serapan bahasa arab dari kata Sirr Rabb yang berarti Rahasia Tuhan. Buka Sirab mengartikan porsesi membuka tabir ketuhanan. Sebagai seorang muslim kita wajib  mengenal Alloh, mengetahui dan mengakui keberadaan Alloh. Buka Sirab inilah yang disebut dengan Ma’rifat billah, dan merupakan inti pendidikan kearifan lokal tanah Cirebon yang selalu berorentasi mencapai kesempurnaan hidup di alam Nirwana/kehidupan setelah hidup di dunia fanna. Fa’lam annahu la ilaha illallohu, innalloha molakum.
Prosesi Buka Sirab dilakukan setiap 8 tahun/sewindu sekali, ini memiliki beberapa pemahaman:
a.       Simbol 8 bulan
Mengartikan 8 bulan dalam kandungan sebagai waktu persiapan perpindahan alam kandungan ke alam lahir.
b.      Simbol 8 Tahun
Mengartikan Umur anak 8 tahun sebagai persiapan memasuki masa baligh yang semua perbuatan akan ditanggung oleh seorang anak.
c.       Simbol Sewindu
Mengartikan tahun akhir yang akan kembali ke tahun awal (pertama) lagi. Dalam pemahaman Tahun jawa memiliki 8 tahun yang akan kembali lagi ke tahun awal (alif).  Masa persiapan manusia sebelum kembali ke asal (Muli Ing Kawitaning Urip)
       
Sirab berbentuk limasan 4 sisi, memiliki makna:

a.      Mashab
Mengartikan jika empat mashab dalam Islam bersumber dan bertujuan satu yaitu untuk menyempurnakan ibadah terhadap Alloh. Semua memiliki posisi masing-masing namun saling terikat dan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
b.      Martabat
Mengartikan 4 Martabat/Tingkatan mausia yaitu Sari’at, Toriqot, Hakikat,dan Ma’rifat merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ditinggalkan salah satunya. Sareat berkedudukan sejajar dengan Ma’rifat, Toriqot sejajar dengan Hakikat. Empat martabat ini tidak boleh dipisahkan karena saling melengkapi, hadirnya 4 martabat ini maka menjadikan Ibadah yang ajeg. Seorang yang beribadah harus mengetahui tata cara dan hukumnya (Syari’at), saat melakukan ibadah disebut Toriqot, saat melakukan ibadah harus memahami dan sadar apa yang dilakukan/dibaca (Hakikat) dan memahami kepada siapa dan untuk apa ibadahnya (Ma’rifat). Seperti 4 sisi penutup Sirab harus terisi semua agar tidak bocor bangunan saat hujan.
c.       Kasta
Mengartikan 4 Kasta manusia yaitu Sudra/Petani, Waisya/Pedagang, Ksatriya/Pejabat dan Brahma/Ulama. Semua sama, sejajar dan tidak ada perbedaan dalam mencari rido dan beribadah kepada Tuhan. Semua tidak ada yang lebih baik, hanya menempati sisi/posisi yang berbeda ada yang di depan, belakan dan samping kanan kiri tapi tetatap sejajar dan menuju memolo (Kang Molahaken/Tuhan).

Bentuk Penutup Sirab memiliki dua macam:

1.       Bahan kayu jati yang bibuat 5 persegi  (⌂) mengandung filosofi sebagai berikut;
a.       Kayu simbol dari Pohon dalam bahasa arab disebut Sajaratun (Wit/Kawitan) yang diartikan sejarah sejati (Kayu Jati). Manusia hendaknnya mengetahui sajarah/asal mula dirinya.
b.      Kayu Jati dari kata Kayun/Hidup yang sebenarnya. Manusia hendaknya tahu tujuan sejati dan untuk apa hidupnya, yaitu hanya untuk ibadah kepada Tuhannya. Ibadah ini dalam pengertian luas.
c.       Sirab bahan kayu ini berbentuk persegi 5 (⌂) menekankan jika dalam menyingkap Hijab Tuhan dengan 5 rukun islam dengan memahami secara mendalam serta menjalankannya.


2.       Bahan penutup sirab yang lumrah juga adalah dari ikatan daun batang tebu/atau ilalang yang sering disebut Welit. Welit artinya mengikat dengan kencang, mengartikan bersungguh-sungguh membuat kebajikan sebelum meninggalkan jasad yang hina (ampas tebu). Ilalang/rambit simbol pegangan yaitu seorang yang selalu menggoyangkan kepala (dzikir)/Ulamah. Welit pasti diapit dua bambu (Pring) yang mengartikan seseprang yang mampu mendatangkan 2 keberkahan Tuhan untuk sesamanya.

Foto: Buka Sirab Buyut Trusmi


Saka/sangga Sirab biasanya berjumlah 9 saka pada bangunan desa-desa adat mengartikan 9 wali yaitu ulama yang mengajarkan Islam. Namun khusus di Desa Adat Gamel mengartikan Bandha Nawa atau Babahan Sanga yaitu sembilan lubang yang terdapat di tubuh manusia (akan dibahas lebih mendalam dalam Bab/Kaca Bandha Nawa dan Babahan Sanga). Kayu Balandar kecil biasanya berjumlah 20 (Dua puluh) yang mengandung makna Ajumenengana Sipat Rong Puluh Pangeran Ing Manungsa (Menghadirkan/Memberdirikan sipat 20 Alloh terhadap diri manusia). Dawu Inni Jangilun pil ardhi kolipatan, Man ngarapa Napsahu Fakod Ngarapa Robbahu. Sipat 20 dibagi empat kelompok yaitu Napsiyah, Salbiyah, Mangani dan Maknawiyah.
a.       Wujud iki Anane kaya dene Manungsa ugi Ana
b.      Qidam iku Kawitanan kaya dene Manungsa ugi ana kawitane
c.       Baqo iku langgeng kang denarani langgeng punika kaliputan weptu kaya dene manungsa ugi kaliputan weptu
d.      Muhalapatu Lilhawadis nora pada karo liyane, manungsa uga nora pada mring makluk liyane.
e.      Qiyamuhu Binasihi jumeneng kenang pyambeke, manungsa lir penda jumeneng goneng prakarya pyambek
f.        Wahdaniyyah iku siji kang sawiji, manungsa gadahing prangsan pyambek
g.       Qudrot kuwasan goneng manungsa iku kuwasan maring pinten-pinten perkawis
h.      Irodat kajatjati, manungsa ugi gadani pangrasa lan pangayunan
i.         Ilmu iku pangawikanan sami kaliyan manungsa, wa ngallama adamal asma-a kullaha
j.        Hayat iku urip, saliraning manungsa iku urip
k.       Sama miyarsih dadi pakumpulaning swara kabeh
l.         Basor dulu dadi pakumpulane sekabeh warna
m.    Kalam dawu dadi pakumpulane rahsa kabeh
n.      Konuhu Qodirun kuwasan nganani lan nyirnahaken, manungsa iku densukani kuwasan rekadaya
o.      Konuhu Muridan kang kajat lan mesteni, manungsa iku denwehi mesteni
p.      Konuhu Ngalimun kang uning ing pinten-pinten perkawis, manungsa iku denwehi kuwasan pangawikanan katah
q.      Konuhu Hayyun kahanan dat kang ngurip
r.        Konuhu Samingun kahanan dat kang miyarsi
s.       Konuhu Basirun kahanan dat kang dulu
t.        Konuhu Mutakalimun kahanan dat kang dawu
Dari penjelasan di atas sangat terlihat jika implikasi dari sifat 20 Tuhan itu menyatu dengan sifat manusia dengan skala lebih sempit atau manusia dalam pemahaman Islam Cirebon (Islam Syahdatan Cirbon)  itu sebagai tajali Tuhan di bumi ini, sehingga manusia juga membawa sifat-sifat ketuhanan yang harus di implementasikan dalam kehidupannya di dunia ini demi mencapai kesempurnaan hidup di akhirat nanti.
Pintu masuk dalam membuka Hijab Tuhan (Sirr Robb) itu digambarkan dengan bentuk dan jumlah pintu Bangunan tempat sirob tersebut. Pintu bangunannya memiliki 3 buah yaitu Depan dan Samping Kanan Kiri. Untuk Pintu Depan biasanya dibuka dalam waktu-waktu tertentu dan biasanya lebih kecil/pendek, sedangkan pintu Kanan dan Kiri bisa dibuka setiap waktu. Tiga pintu ini disebut Leblebaning Pamidang (Penutup tempat duduk) yang bermakna Ngitikap, Ngistikoma dan Tumakninah.
a.       Ngitikap iku Melebuha ing Pangayome Gusti Alloh
b.      Ngistikoma iku Jumenenga tinemenan ing Pangampuraning Gusti Alloh
c.       Tumakninah iku Pangrahsaha Apangale Gusti Alloh

B.      MEMAYU

Sabtu, 14 April 2018

AKSARA RIKASARA

AKSARA RIKASARA
SEBUAH CATATAN PERADABAN YANG HILANG






DEWAN ADAT WARINGIN RUNGKAD



NGURI NGURIPI RIKASARA
SEBAGAI IDENTITAS DAN EKSISTENSI JATI DIRI

Aksara Rikasara adalah salah satu warisan peradaban leluhur yang menjadi kebanggaan warga Cirebon. Warisan leluhur ini sempat terpendam, tidak terekspos beberapa abad lamanya karena sejak kesulthanan Cirebon dalam pengaruh imperialis VOC (antara 1660 – 1725) memerintahkan para juru tulis/Sarjana Keraton agar semua catatan, korespondensi, surat keputusan, dan sebagainya untuk beralih menggunakan aksara Carakan, Pegon dan Alpabet. Alasannya, karena pada saat itu, awal abad ke-17, kesulthanan Cirebon benar-benar dalam kukungan VoC hingga terjadi Genosida Aksara daerah, atau disebut masa Kalpariksa Jatining Lebon Pepeteng.Menurut issue pada masa ini terjadi pembantaian Sarjana/Pujangga yang tidak mau mengubah tulisan daerah ke tulisan Carakan, sarjana yang berjumlah 70 melarikan diri namun yang selamat hanya beberapa orang.

Pada masa ini dibentuklah Jaksa Pepitu untuk membuat buku atau menyalin aksara Rikasara menjadi aksara carakan atau pegon. Misi awal adalah pembuatan Pustaka Nagara Kertabhumi tahun 1677. Jaksa Pepitu ini berjumlah sebenarnya 15 orang dan 7 orang yang sangat loyal kepada Wali Sulthan (Wangsa Kerta). Pada puncaknya pada tahun 1720 dibuatlah Purwaka Caruban Nagari sebagai tanda Genosida Aksara Rikasara:

KATITIS LAYA ING WANG

ADI PRALAYA GENING PINEPUH

AREKA PUSTAKA

UNJUJUG MIWAHANA

PETALING KROYAS SIWI

DAMEL PURWAKA

KALPARIKSA JATINING CIREBON

LEBON PEPETENG

8461 // 22 // 09


Sejak itu, Aksara Rikasara Cirebon, secara resmi tidak lagi digunakan sebagai sarana untuk tulis menulis, namun sisa-sisa naskah yang beraksarakan aksara Rikasara Cirebon, menurut informasi Yai Sarkam, keturunan ke 17 Ki Gede Gamel, tujuh hari sebelum meninggalnya pernah bercerita Aksara Rikasara sangat susah dilacak. Hal ini dikarenakan jika yang memegang kitab beraksara Rikasara akan sangat merahasiakannya, kepada ahli warisnya pun diberi “pamali” jika berani membukanya yaitu akan mendapat kesialan hidup atau mati.

Namun rasa nasionalisme dan kedaerahan tetap melekat pada hati para sarjana dan Ulama Cirebon. Sehingga sejak tahun antara 1690 – 1850 para Sarjana banyak memodifikasi Rikasara sehingga mirip aksara Carakan Jawa. Hal ini tampak pada beberapa kitab yang tersebar dari wilaya Brebes hingga Garut serta pada beberapa lukisan kuno karya sarjana Cirebon.


Ya Kawathu Wada Ngango
Wacana Nawa
Ya Nala Cangak

Sloka Rajah Pamunah

Dari dua karya tersebut kita sangat jelas proses generalisasi aksara Cirebon (Rikasara), Huruf Wa Na Ka Ta di lukisan Burung (Cirebon) dan Pa Wa Na Sa Ka Ta Ya Da di Lembaran Rajah Pamunah (Limbangan - Garut). Disamping proses generalisasi Huruf, para Sarjana Cirebon juga sering menyisipkan huruf aksara Rikasara dalam tulisan/karyanya.

BENTUK GENERALISASI RIKASARA


Selama ratusan tahun itu, tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa kesultanan Cirebon memiliki aksara tersendiri. Baru pada tahun 1999 - 2001, Anom, yang merupakan seorang putra keturunan Kigede Gamel generasi ke 19, yang tertarik terhadap aksara yang ada di Masjid Kuno Gamel. Walau dia bisa membaca aksara Carakan dan Huruf yang ada di saka masjid seperti Carakan, tapi Dia tidak mengerti dan tidak bisa membaca tulisan yang ada di Saka Blandar Masjid tersebut. Oleh karenanya, dia mencari tahu, kira-kira siapa yang dapat membaca aksara tersebut, namun tidak ada yang mmpu membacanya, setiap mendapat referensi sebuah Sloka dari sesepuh pun tidak bisa dibaca. Pada akhirnya, dia mencoba merangkai dengan cerita yang berkembang di masyarakat hingga tahun 2013 mampu membacanya, dengan mencoba menyamakan bunyi dengan Pagon di Saka Blandar sebelanya.


Dina Ahad Jumadil Akir
tahud Jum Ahir, 82.

Selanjutnya tahun 2015, salah satu sesepuh memberikan warisan ke Anom yang berisi aksara pegon dan rikasara

SUSUNAN/MUKTISARA RIKASARA


Karena itu, anom mulai membuka kembali salinan naskah-naskah yang ada di rumahnya barangkali ada yang beraksarakan aksara seperti itu. Setelah salinan naskah-naskah yang ia sadur dari Uwak Kuncennya tersebut dibongkar, ternyata terdapat beberapa naskah yangditulis dengan aksara Rikasara. Menurut penuturannya salinan-salinan itu ada yang berupa kulit besar (Jimat Mujo Kulit Ageng) dan ada yang berupa buku walaupun hanya tiga buah buku yang disalin (Keterangan lebih lengkap di buku Induk Hong Dji sejarah Sirbudhirahsa)

SLOKA ANGGON








Untuk memperkaya naskah aksara Rikasara Cirebon, Anom berburu dan mencari tau keberadaan naskah-naskah pada sesepuh yang dipercaya menyimpan jimat atau kitab-kitab yang dikeramatkan. Dan ditemukan fakta bahwa banyak kitab yang beraksara tersebut telah dimusnakan baik dibakar maupun di pendam. Hal ini dikarenakan wasiat orang tuanya atau karena memang sudah tidak ada yang bisa membacanya dan merawatnya

Aksara Rikasara Cirebon terus menerus beliau rawat dan kampanyekan agar dikenal luas oleh masyarakat Cirebon baik melalui sharing dengan orang-orang yang peduli maupun lewat media sosial seperti komunitas di Facebook ataupun Whatsapps. Setelah rampung dan ajeg sebagi Aksara maka pada tahun 2018 beliau mengenalkan secara utuh aksara Rikasara yang bertepatan dalam kegiatan Kilasara Laras di kegiatan tahunan Nilas Bedhaya Sirbudhirahsa Masjid Kuno Gamel. Berharap agar kemudian aksara Rikasara Cirebon dapat dihidupkan kembali dan digunakan secara luas di lingkungan masyarakat Cirebon tidak sebatas di sekala Tanah Adat Tlatah Sara’bahu. Dan para pihak berwenang diharapakan mulai memiliki kecenderungan untuk melestarikan aksara Rikasara Cirebon terutama pihak Kesulthanan Cirebon yang berkaitan langsung dengan keberadaan aksara tersebut dan memiliki sejarah kedekatan dengan Tlatah Sara Bahu desa Gamel. Seperti yang tertuang dalam Prasasti Saka Blandar:

Mar Hadi Ngawas
Angmung Ngewalen
5261

Bengiye Madepis Hadi Nata Walan
Rugaba Bahana Sinagasa Kuwasa Hulihi


RUPA NURAT SARA


Mursasara Rikasara

  1. Murdhasara Rikasara adalah menulis aksara rikasara untuk kebutuhan umum
  2. Bandhasara Rikasara adalah menulis aksara rikasara untuk tujuan membuat jimat/rajah. Dalam membuat/Menulisnya memiliki aturan tertententu.
  3. Sasandhisara Rikasara adalah menulis rikasara dengan tujuan untuk teleksandi/mata-mata. Biasanya Sasandhisara ini juga mengandung Badhasara, jadi tidak hanya sebagai pesan rahasia tapi juga sebagai rajahan untuk yang membawa suratnya

Mangen Rikasara
Mangen adalah bentuk atau gaya menulis aksara rikasara, yang secara umum dikenal 3 (tiga) macam mangen:

  • Mangen Kakiwatu / Kawatu yaitu menulis dengan huruf baku tanpa aksen apapun

  • Mangen Halif yaitu menulis dengan metode memperindah aksara rikasara namun masih terlihat jelas huruf bakunya

  • Mangen Layus yaitu menulis dengan huruf yang sedikit keluar dari pakem baku aksaranya biasanya berbentuk garis tegas/lurus.