Bahasa Cirebon merupakan
bahasa yang sangat unik karena memiliki beragam gaya pelafalan, notasi sampai
perbedaan pengucapan. Keunikan ini dipengaruhi oleh banyaknya percampuran dan
adaptasi dari berbagai bahasa seperti Sunda sebagai bahasa ibu pertama, Jawa
kuno sebagai bahasa ibu ke dua, Arab sebagai bahasa panguron, Melayu, Cina dan
Belanda. Akan tetapi dengan bergesernya waktu banyak orang Cirebon sulit atau
tidak memahami arti kata nya sendiri ditambah kesenian Cirebon pada akhir masa
kolonial VoC mendapat sokongon dan perhatian yang sangat besar dari kesultanan
dengan ditandai pemberian Gelar Raden
bagi para dalang (Penggiat Kesenian).
a. Wakil Sultan Raja Aluda tahun 1901 –
1911 memberikan gelar pada Dalang Pesisiran, hal ini memicu makin meruncingnya
sengketa antara Aluda dengan keturunan Jayawikarta karena menganggap Aluda
menyalahi perjanjian sanggul gelung.
b. Wakil Sultan Maulana tahun 1973
memberikan gelar raden pada Dalang tengahan serta pendukungnya. Polemik ini
memicu terpecahnya Tradisi Panjang Jimat Kesulthanan Cirebon (Setiap Keraton
mengadakan sendiri-sendiri yaitu mulai tahun 1975) dan Mencuatnya issue jika
Raja Rajadiningrat adalah keturunan belanda bukan garis nasab Sunan Gunungjati
(ini akan dibahas dalam Bab Sengketa Singgasana Tra Aluda)
Dalang atau seniman kesenian ini menjadi sumber referensi masyarakat dalam mengangkat sejarah (Sanggit). Namun dengan keterbatasan pemahaman bahasa sering kali para Seniman/Dalang ini mengartikan kata dalam bahasa Cirebon dengan asal saja dan parahnya masayarakat menelannya mentah-mentah sehingga mengaburkan makna sesungguhnya kata tersebut yang berdampak pada penyimpangan sejarah Cirebon. Penulis pernah mencari sejarah galur dan bertemu dengan almarhum Mamah Prof Titin Cangkring budayawan Cirebon dan beliau berkata “Mamah si dalang, yen critae galur ya bakal bli payu sandiwarae, sebabe wong nonton pengene kang rame ana prang tandinge”. Maka, melalui makalah sederhana ini penulis ingin memaparkan keliruan bahasa yang berkembang di masyarakat dengan tujuan sebagai bahan diskusi jika ada para pemerhati/penggiat bahasa yang memiliki pemahaman yang berbeda bisa menuliskan di komentar atau ke email guratpanurat@gmail.com demi untuk mengedukasi serta membuka wawasan masyarakat khususnya Masyarakat Cirebon.
TRUSMI
Trusmi berasal dari dua kata yaitu
Taru dan Rasmi memiliki dua makna pula:
1. Taru Rasmi artinya anak kandung yang
syah, ini juga menjadi penanda mengapa diangkat menjadi putra mahkota saat
adiknya, Pangeran Pasareyan meninggal.
2. Taru Rasmi adalah Taru (kayu atau
padu/sama) dan Rasmi (Lukisannya) sehingga bermakna anak yang sangat mirip
dengan ayahnya (Sunan Gunungjati). Makna ini sejalan dengan galur Pangeran
Trusmi Mendem ing Puser Bumi Sarabahu, yaitu abdi dalem Sunan Gunungjati sangat
terkejut melihat Pangeran Trusmi disangka Sunan Gunungjati saat datang ingin
bertemu dengan orang yang sedang berada di dalam Lemah Wungkuk.
3. Trusmi juga bisa berarti Trus Asmi yang berarti Pepohoman sejauh mata memandang (hutan lebat) yang secara harfia berarti Pangeran Trusmi adalah Pangeran yang berada di dalam hutan (bambu) lebat.
BUNGCIKAL
Masyarakat mengartikan kata
“Bungcikal” ini sesuai sanggit pementasan sandiwara yaitu anak yang berasal
dari tunas pohon bambu (Rebung). Diceritakan pada suatu hari saat Sunan
Gunungjati ingin berkunjung ke gurunya Syaikh Nurjati di Wana Sarabahu, beliau
buang air kecil di bawah pohon bambu dan mengenai tunasnya, Nyimas Bambangan
(ada yang mengatakan Nyi Cipluk) mengambil tunas bambu tersebut dan memasak
serta memakannya sehingga membuat Nyimas Bambangan hamil.
Menurut bahasa BUNGCIKAL berarti anak yang dinobatkan menjadi putra mahkota.
Ini sejalan dengan galur Pangeran Trusmi sebagai putra dari Sunan Gunungjati
saat Pangeran Pasareyan meninggal (bisa baca di Galur desa Trusmi di http://sakapanuratrahsa.blogspot.com/ )
MANGGALA JATI
Manggalajati adalah gelar yang
disandang oleh Pangeran Trusmi yang bernama Pangeran Mangkuratsari /
Mangkuratjati. Manggala berarti Putra Pertama, Jati merujuk Sunan Gunungjati
sehingga Manggalajati bermakna Putra Pertama dari Sunan Gunungjati
WITANA
Masyarakat Cirebon yang dipengaruhi
sanggit para dalang kesenian mengartikan Witana
dari kata Awit Ana (Mulai ada). Witana sendiri sebenarnya
berarti Bangsa atau Balairung tempat pertemuan seorang raja dengan bawahannya.
Dengan pendirian Witana ini, Pangeran Cakrabuwana mengikrarkan membuat dan
mengelolah pemerintahannya sendiri.
LEMAH WUNGKUK
Lemah Wungkuk adalah panguron yang
dibangun Pangeran Cakrabuwana yang berbentuk mushalla/masjid. Arti Lemah
Wungkuk sendiri berati Tempat Sujud.
PUSER BUMI
Masyarakat Cirebon percaya jika
Cirebon tepatnya di Gunungjati adalah Titik Pusatnya Bumi/Alam. Padahal dalam
Bahasa Cirebon kuno Puser Bumi memiliki arti Tempat Berkumpul untuk berdiskusi
atau rapat.
PANJANG JIMAT
Panjang Jimat dipahami oleh
masyarakat umum adalah prosesi arak-arakan jimat/pusaka keraton sehingga
mengular/memanjang sepanjang jalan. Panjang dalam bahasa Cirebon kuno berati
Piring/Tempat nasi untuk makan, sehingga Panjang Jimat berarti Pusaka yang
berbentuk Piring.
MATANGAJI
Matang masyarakat mengartikan dari
kata Bahasa Indonesia yang berarti masak atau sudah sempurna. Matang dalam
bahasa Cirebon kuno berarti Dibuang/di asingkan, sehingga makna dari Matangaji
adalah Raja/Sultan yang di asingkan.
NUJU BARIS
Dalam salah satu sanggit wayang cepak
Cirebon menadopsi kata Nuju Baris ini sebagai Sultan dalam pengasingannya
tersebut menyusun setrategi dan pasukan
serta berjuang melawan penjajahan VoC. Akan tetapi menurut Bahasa Cirebon kuno
kata Nuju Baris berarti Mengalami Gangguan Jiwa (Gila).
GAMEL
Pada mulanya masyarakat Cirebon
khususnya masyarakat Gamel sendiri mengartikan Gamel dari kata Gamelan (alat
musik tradisional dari logam) didasari karena desa gamel memiliki pusaka yang
berbentuk Gamelan yang disebut Tabu Renteng. Dahulu desa Gamel itu tidak ada
yang ada adalah Sarabahu, sampai tahun 1980an akhir orang menyebut Tiyang
saking Ngalas Sarabahu, berubah terkenal Gamel saat Putra terbaik Sarabahu
(Pangeran Talibarata) diutus membantu melatih pasukan kuda mataram dan
disebut/diberi gelar Ki Gamel yang
berarti Guru dan Pawang Kuda
KALIWULU
Menurut tutur tinular yang berkembang
secara umum di masyarakat jika Kaliwulu adalah sungai yang dibuat berwudu
Syaikh Abdurohman murid Syaikh Qodir Jailani. Namun menurut galur yang
berkembang Kaliwulu memiliki makna:
1. Rumah Silintang kedatangan 2 orang
meminta ijin untuk menumpang berwudu (Galur Tapakan Bima Silintang). Cerita ini
menjelaskan jika Kaliwulu berarti Dua Orang Menumpang Wudu.
2. Kaliwulu merupakan rumah ke-2, ini
berdasarkan Galur Pangeran Trusmi jika Kaliwulu adalah Kaputren untuk adiknya.
WATU BELO
Saat jalan-jalan ke arah Sumber kita
akan melewati desa Watu Belo yang jalan desanya berdiri gapura dengan Patung
Batu Terbelah. Kita dapat mengambil kesimpulan Watu Belo tersebut disamakan
dengan Watubelah atau yang berarti Batu Terbelah. Padahal dalam bahasa cirebon
arti Belo adalah Bulat Besar, jadi Arti dari Watubelo adalah Batu Besar dan Bulat. Batu Bulat Besar
ini terletak di Pasanggrahan kramat Buyut Selapandan.
CALANCANG
Menurut masyarakat yang berada di
kecamatan Gunungjati, Calancang ini berasal dari kata Nyancang yaitu mengikat
tali perahu. Namun menurut bahasa Cirebon kuno Calancang ini berasal dari dua
kata yaitu Cala dan Ancang. Cala berarti asap yang ada di bawah kaki gunung
sedangkan Ancang adalah tanda/petunjuk (Ancer-ancer), sehingga Calancang berarti
adalah Mercusuar ditepi pantai/pelabuhan.
SINGAPURA
Singapura menurut keyakinan
keturunannya adalah sebuah kerajaan sebelum Cirebon. Disini penulis tidak
bermaksud membantah karena disini penulis hanya mengartikan dari kata menurut
bahasa Cirebon kuno. Singa berarti Pesisir Pantai, Pura bangunan, sehingga
Singapura adalah bangunan yang berada di pesisir pantai atau secara harfia
adalah Rumah Dinas Syahbandar.
MARTASINGA
Martasinga terdiri dari kata Marta
yang bermakna selalu ramai sepanjang waktu, Singa adalah pesisir pantai. Secara
harfia Mertasinga berarti Pelabuhan yang sangat ramai.
GANDASARI
Sejak kecil mungkin masyarakat
Cirebon sudah diberi pemahaman jika Nyimas Gandasari adalah seorang yang
memiliki kelamin ganda, yang digambarkan menikah dengan Syaikh Magelung Sakti
dengan perjanjian “Boleh Campur (kawin/hubungan badan) saat akhir
jaman/kiamat”. Tanpa disadari pemaknaan ini sangat menghina beliau (Nyimas Gandasari).
Gandasari ini berasal dari kata Ganda yang berarti Bau, Sari adalah Bunga
sehingga Gandasari berarti Wanita yang
terkenal akan kecantikannya/Wanita yang sangat cantik.
ANOM
Kita sering salah mengartikan Anom
sama dengan Eunom/Muda, tapi sering sekali kita temukan gelar putra
mahkota/manggala bergelar Pangeran Anom yang berarti Putra Mahkota (Putra Tertua).
Ternyata dalam bahasa Cirebon kuno kata Anom adalah serapan dari kata sangkrit yaitu Kamanoman yang berarti Raja yang syah, sedang Anom berarti Raja/Sultan.
SEPUH
Sepuh dalam bahasa jawa artinya Tua, akan tetapi didalam bahasa Cirebon memiliki makna yang jauh berbeda yaitu Sepuh berarti Poles/Menutupi agar terlihat lebih mulia, Di Sepuh artinya Dipoles agar keliatan mengkilap/seperti emas. Sepuh juga bisa berarti palsu seperti Emas Sepuhan (Emas palsu, biasanya hanya kuningan atau tembaga yang dipoles warna emas)